Dunia Pendidikan, Ada Si Kucing Air!

Adi Syahputra, S.Pd.I., M.Pd | 05 Desember 2024

Detail Literasi:

Masyarakat mempunyai hukum adat istiadat yang mampu menggugurkan hukum Undang-Undang dengan tujuan menilai baik buruknya seseorang. Seperti kejahatan yang merajalela dalam kehidupan, maka masyarakat menilai dengan penilaian yang dipandang mampu memberikan mashlahat (manfaat). Dalam masyarakat Minang misalnya, mereka memiliki tolak ukur dalam menilai keintelektualan seseorang. Banyak istilah yang dipakai dalam mengategorikan sesuatu yang dimaksud berdasarkan keilmuannya. Di Sumbar (Sumatera Barat) ada yang dikenal dengan istilah Kucing Aia (Kucing Air). Istilah ini dipakai atau diberikan kepada orang yang tidak memiliki kualitas atau orang rendah ilmunya tidak harus didengar omongannya.
Si kucing air ini biasanya tampil seperti orang pintar, ucapannya mampu mempengaruhi orang lain, perbuatannya seolah mencerminkan bahwa dialah yang paling terbaik, tetapi sebenarnya dia berpikiran sempit dan dalam perangkap orang yang sedang memanfaatkannya. Si kucing air sangat mudah dipanas-panasin, plin plan dan merasa dirinya sudah paling hebat. Dengan percaya diri, si kucing air pun gencar mengajak orang lain untuk mengikuti langkahnya. Ketika orang bertanya kapadanya, si kucing air tidak mampu menjawabnya malah ngomongnya ngawur dan sembrono.
Di dalam dunia pendidikan, banyak ditemukan Si Kucing Air. Karena kekerdilan berpikirnya dan biasa hidup dalam kehidupan tertutup lalu mereka menganggap bahwa orang yang beda dengannya (suku, agama dan ras) adalah sebuah ancaman yang harus dimusuhi. Dunia yang sudah melangkah jauh di era globalisasi dan mengusung gerekan merdeka belajar serta terbuka ini, si kucing air masih bermain isu SARA (suku, agama, ras dan anter golongan) yang pastinya sudah ketinggalan jaman. Suka mendikte keimanan seseorang, mencari-cari kesalahan orang, merendahkan orang lain, cemburu kesuksesan rekan sejawat, merendahkan budaya setempat, mengekang kebebasan orang untuk berekspresi. Tentu budaya dan gaya hidup dilakukan oleh orang yang beda dengan kebiasaannya adalah suatu kesalahan besar.
Kucing air dengan kebenciannya yang mendalam menyebarkan berita bohong dan fitnah yang mana didalam agama sendiri pun itu jelas dilarang. Berteriak-teriak atas nama Tuhan lalu kucing air melakukan kekerasan psikis, menghina, mencaci maki, menghakimi orang dan bahkan melakukan tindakan teror dan ancaman.
Dengan pongahnya si kucing air mengatakan bahwa merakalah yang benar dan hebat. Si kucing air lah yang bersih sedangkan yang lain adalah kotor. Si kucing air lah yang mulia sedangkan yang lain adalah hina. Si kucing air lah penentu surga dan neraka seseorang. Kucing air menganggap bahwa kemiskinan dan penindasan terjadi karena kehadiran suku/etnis lain. Kucing air menganggap bahwa kerusakan dan kejahatan muncul karena ada persaingan antar sesama.
Namanya saja kucing air, ketika diajak berdebat dan membuktikan kebenarannya, kucing air ngeyel sana ngeyel sini. Lagaknya saja sok intelektual nyatanya kosong dan miskin wawasan. Pemikirannya dibawanya selalu berpatokan pada apa yang ia tahu dan orang harus percaya kepadanya. Kucing air bak penjual kaset pita di pinggir jalan. Kucing air bak tukang foto pakai klise. Sungguh miris.
Namanya saja kucing air, ketika dilihat perilakunya ternyata akhlaknya bobrok dan licik serta jahat. Agama hanya sebagai kedok. Agama sebagai alat bagi si kucing air untuk mendapatkan simpatik dan dukung serta berlindung dari pada apa yang telah diucapkan dan dilakukannnya. Ketika dituntut janji manisnya, lalu si kucing air lari berteriak dan playing victim (merasa jadi korban). Orang banyak yang tertipu karena ulah lidah yang tak bertulang milik si kucing air itu sehingga saling kontra, saling tuding dan berhantukkan satu dengan yang lainnya. Parahnya lagi si kucing air itu tidak mau mengotori tangannya untuk menghancurkan orang lain, namun dia pasang orang untuk jadi alat membasmi orang yang dia benci. Begitu sadisnya si kucing air.
Maukah kita perang oleh ulah provokasi si kucing air? Maukah kita saling membunuh karena ulah si kucing air? Jika ini terjadi, alangkah memalukan! Konflik berkepanjangan timbul karena ulah si kucing air yang kerdil dan primitif serta tidak berbobot sama sekali.
Semoga kita tetap terus menuju dan menjadi bangsa yang cerdas bukan orang-orang kucing air! Masih banyak dibutuhkan waktu, pemikiran dan energi kita untuk hal lebih berarti dan membangun kemajuan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan serta bisa ikut berbuat untuk generasi emas di tahun 2045.

Berita Lain Semua Berita

Literasi SMAMSA Semua

Copyright © 2025 SMA Muhammadiyah 1 Pekanbaru Supported by Smamda Sidoarjo